Kamis, 11 Februari 2010

Bolehkah Muslim mengucapkan salam (Assalamu'alaikum) kepada non Muslim ?

Hadis riwayat Muslim melalui Abû Hurairah tentang larangan Nabi memulai mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nashraniy “(Janganlah kamu memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nashraniy, jika kamu berjumpa dengan salah seorang dari mereka di jalan, maka desaklah dia ke pinggir)”. Hadis ini dipahami oleh tim penulis buku Fikih Lintas Agama mengesankan wajah Islam yang keras, kejam lagi menakutkan. Bahkan mereka menolak dan membatalkan validitas hadis ini. Mereka berpendapat bahwa hadis ini tidak sesuai dengan watak dasar Islam yang menekankan kedamaian.

Hartono Ahmad Ja’iz telah mengkritik ide tim penulis buku Fikih Lintas Agama ini lewat buku Menangkal Bahaya Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Fikih Lintas Agama (FLA), namun Hartono kelihatannya lebih fokus dalam mengkaji ayat-ayat tentang pluralisme saja. Sedangkan masalah hadis sendiri dia lebih banyak mengomentari pemahaman hadis yang terkait dengan permasalahan waris antaragama. Kemudian pemikiran seperti ini sangat mungkin berkembang di masa yang akan datang. Hal ini terbukti dengan maraknya kajian tentang pluralisme pada saat ini.

Tim penulis buku Fikih Lintas Agama menolak validitas dan menilai dha`if (lemah) hadis tentang larangan Nabi memulai mengucapkan salam kepada non-muslim melalui Abû Hurairah riwayat Muslim ini. Dengan alasan, Abû Hurairah banyak memiliki kekurangan dan kelemahan dalam hal periwayatan hadis. Kemudian mereka memahami hadis ini bertentangan dengan watak dasar Islam yang menekankan kedamaian, karena mengesankan Islam dengan wajah garang, kasar, kejam lagi menakutkan.

Lebih lanjut tim penulis menegaskan bahwa dulu Nabi melarang memulai mengucapkan salam kepada non-muslim, karena orang-orang Yahudi dan Nashraniy memusuhi Nabi dan umat Islam. Sekarang permusuhan itu sudah tidak ada lagi, umat Islam sudah hidup damai dengan non-muslim. Jadi, memulai mengucapkan salam kepada non-muslim dibolehkan. Kemudian penilaian tim penulis terhadap Abû Hurairah tidaklah konsisten, sebab dalam permasalahan lain mereka menerima hadis Abû Hurairah yang diriwayatkan oleh al-Bukhâriy, seperti dalam permasalahan doa bersama (doa antaragama) pada sub bahasan buku Fikih Lintas Agama.

Di sini saya memahami bahwa tim penulis terlalu cepat dalam menilai dan menyimpulkan maksud dan tujuan hadis tanpa mengabaikan makna teks hadis, sehingga melahirkan penilaian dan pemahaman yang keliru terhadap hadis. Tim penulis menerima dan menolak teks atau hadis sesuai dengan kehendak dan tujuan mereka sendiri, jika sesuai dengan kehendak dan tujuan mereka, maka teks itu diterima. Namun jika tidak, maka ditolak dan ditinggalkan begitu saja.

Apabila penilaian dan pemahaman seperti ini dibiarkan terus berkembang, maka mengimplikasikan banyaknya teks atau hadis nantinya akan diragukan dan ribuan hadis shahih yang bersumber dari Abû Hurairah akan ditolak oleh umat Islam, sekaligus dapat merusak akidah umat Islam di masa yang akan datang.

Penilaian dan pemahaman tim penulis ini jauh berbeda dengan penilaian dan pemahaman ulama hadis. Ulama hadis, seperti Muhammad Nashir al-Din al-Albâniy menilai hadis ini shahih. Al-Shan’aniy memahami hadis ini tidaklah bertentangan dengan watak dasar Islam yang menekankan kedamaian. Meskipun hadis ini secara tegas menyatakan; “Jika kamu berjumpa dengan salah seorang dari mereka (Yahudi dan Nashraniy) di Jalan, maka desaklah dia ke pinggir”, maksudnya adalah dalam keadaan berdesakan atau sempit bukan dalam keadaan lapang. Kemudian Muhammad ibn Ismâ’il al-Kahlâniy berpendapat bahwa hadis ini tidak bertujuan untuk bersikap kasar (mu’akasah) terhadap orang-orang Yahudi dan Nashraniy, namun hanya merupakan isyarat ketidakrelaan kaum muslimin terhadap orang-orang yang tetap beragama Yahudi dan Nashraniy tersebut, setelah kedatangan agama Islam yang Rahmatan li al-Alam.

Memulai mengucapkan salam kepada orang-orang non-muslim dilarang oleh Islam, namun membalas atau menjawab salam dari mereka dibolehkan, yaitu dengan memberikan balasan sesuai dengan redaksi salam yang mereka ucapkan.


Bahan Pertimbangan:

Al-Asqalâniy Ahmad Ibn ‘Aliy Ibn Hajar, Fath al-Bâriy bi Syarh Shahîh al-Bukhâriy, Juz IV, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Al-Albaniy Nashir al-Din Muhammad, Shahih Sunan Abu Daud, diterjemahkan oleh ‘Abd al-Rahman Taufiq dan Tidjaniy Sofia, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006

Al-Ja`fiy Abiy `Abd Allah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah al-Bukhâriy, Shahih al-Bukhâriy, Beirut: Dâr al-Fikr, 1981

Ja’iz Ahmad Hartono dan Bashori Hasan Agus, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003

Al-Kahlâniy ibn Isma’il Muhammad, Subul al-Salâm, Bandung : Maktabah Dahlan, t.th.
Lasyin Musâ Syahin, Fath al-Mun’im: Syarh Shahih Muslim, Kairo: Maktabat al-Jami’ah al-Azhariyyah, 1970

Madjid Nurcholis, Azhari Noer Kautsar dkk., Fikih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Cet. VII, Jakarta; Paramadina, 2004

al-Suyuthiy Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abiy Bakar, Tadrib al-Râwiy fi Syarh Taqrib al-Nawâwiy, cet. Ke-2, Madinah: Maktabah Ilmiah, 1972